Kamis, 04 April 2019

Sebuah pelajaran dari Kedungcangring



Jarum di jam tangan menunjuk pada angka 12 pertengahan malam ini. Pada sisi digital arloji ini pun, hari dan tanggal sudah berganti menjadi Kamis, 28 Maret 2019. Sudah 6 jam rupanya saya berada di Kedungcangkring, sebuah desa yang terletak tidak jauh dari lokasi menyemburnya lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Penantian yang tidak sebentar, berhuntung ponsel cerdas yang berada pada genggaman membuat saya dapat melewati waktu tanpa rasa jenuh.


Terkadang dari dalam kendaraan berpendingin udara ini saya melongok ke depan. Terlihat seorang pria paruh baya mengenakan kemeja berwarna hitam, lengkap dengan celana panjang hitam, duduk dengan posisi lutut mendekati dada, beralasan sebuah terpal yang ia siapkan sebelumnya. Sesekali ia berdiri dan melihat pelbagai penjuru sembari memegang kuda besi yang ia sulap menjadi semacam gerobak bongkar pasang. 

Sepeda motor jenis bebek buatan honda menjadi dapur dan tempat ia meracik serta menjajakan kuliner yang ia jual. Rasa penasaran yang menggerogoti pikiran membuat saya memberanikan diri untuk keluar dari mobil dan menghampiri pria tersebut. 

"Pak niki penganan opo (pak ini makanan apa)"tanya saya dalam bahasa jawa, sembari menunjuk sebuah wajan diatas motornya.

"Niki lontong cecek nak, kalo niki kupang (ini lontong kulit sapi nak, kalo yang ini kerang kecil)" sembari menunjuk dua buah nampan di atas motor gerobaknya, dengan wajah yang ceria. Kemudian saya memesan lontong cecek, lalu dengan cekatan ia membuat pesanan saya tersebut. Warna cokelat tua di kedua tangan Mukri terlihat lihai dalam meracik sejumlah bumbu yang akan di campur. Ketika ia membuka tutup wajan indera penciuman langsung bekerja seketika. Wangi kuah bercampur kulit sapi yang semerbak, seolah memanggil saya untuk menyantapnya.

Sementara itu, terlihat tumpukan kulit sapi potong tertata rapih, menggunung, mendekati puncak wajan. Hal itu membuat saya bertanya-tanya, kok, jam 12 malam masih banyak. Sejurus saya melempar pertanyaan sembari mengorek informasi. "Pak mulai jualan sore" tanya saya kali ini dalam bahasa Indonesia. "Mboten nak, kulo sade esuk nak (enggak, saya jualan dari pagi)" jawabnya dengan nada semangat sembari meracik petis dan kuah cecek.

"Loh pak, kok iki iseh akeh pak (ini kok masih banyak)" tanya saya penasaran. Kemudian ia menjelaskan, sejak pagi berjualan hingga jam 12.00, ternyata ia baru satu kali melayani pembeli. Padahal ia sudah berada jauh dari rumahnya yang berada sekira 20 kilometer dari lokasi saya bertemu.

"Ya, nak loka ini pembeli pertama saya" kata Mukri, sembari tersenyum. Keriput yang sudah menghiasi wajahnya tidak mampu menyembunyikan rasa senang pertengahan malam ini. Saya pun terus bertanya dan mengobrol bersama Mukri. Jika makanan tidak habis, maka ia akan menghangatkan kulit sapi tersebut. Meskipun demikian, hal itu hanya ia gunakan sekali, karena kulit sapi hanya bertahan 2 hari. Sebelum makanannya rusak, biasanya ia membagikan kepada orang yang membutuhkan, atau bila masih banyak, dengan terpaksa ia membuangnya.


Perbincangan bersamanya menjadi teman yang lebih berguna dari pada memainkan ponsel cerdas. Ia pun menjadi sumber pembelajaran malam ini. Perjuangan seorang ayah demi menghidupi keluarga tercinta. Selama saya bercengkrama tidak sekali pun ia mengeluh, meskipun harus berjualan hingga pukul 2 pagi. "Kita hidup untuk berusaha dan ini saya berusaha, bertanggung jawab sama keluarga, semua urusan kita serahkan sama Allah" ucapnya dalam bahasa jawa yang sudah saya artikan kemudian sebelum berpisah ia sempat mengatakan "tetap sehat dan semangat nak, gusti Allah mboten sare".

G+

Tidak ada komentar :

Posting Komentar