Kamis, 19 Oktober 2017

Urgensi Pengesahan RUU Kepalangmerahan




Kepergian penjaga gawang Persela Lamongan, Choirul Huda (38), setelah berbenturan dengan Ramon Rodrigues dan Marcel Sacramento, Minggu (15/10) sore, menyisakan sebuah pertanyaan besar. Bagaimana kejadian yang merenggut nyawa pesepakbola itu bisa terjadi? Sementara Badan Sepak Bola Dunia (FIFA) telah mengeluarkan standarisasi perangkat pertandingan, termasuk tim Medis.

Warga net di Indonesia kemudian bereaksi atas meninggalnya kapten tim Persela itu. Berdasarkan pantauan di media sosial, tidak sedikit warga net yang memberikan kritik mengenai kinerja tim Medis saat memberikan pertolongan pertama. Terkait hal tersebut, tidak sedikit pula warga net yang mengkaitkan antara tim medis dengan Palang Merah Indonesia (PMI). Hal itu cukup berasalan, karena tim medis yang bertugas saat itu mengenakan seragam dengan logo Palang Merah pada bagian punggung, dada sebelah kiri, dan topi.

Akun media sosial PMI pun banjir pertanyaan dari warga net, terkait standarisasi pelayanan pertolongan pertama dan medis yang diberikan oleh PMI. Meskipun sudah memberikan klarifikasi berupa siaran pers, dan surat secara resmi. Tetap saja, akibat penggunaan logo Palang Merah yang kurang tepat oleh tim medis pada pertandingan tersebut, PMI ikut tersandung dalam permasalahan ini.
Penggunaan logo Palang Merah yang “semaunya” sangat berdampak pada organisasi PMI. Bagaimana tidak? fenomena yang terjadi akhir pekan lalu itu, ikut menyeret PMI dalam pusaran kejadian tersebut. Meskipun tim medis tersebut berasal dari RSUD dr. Soegiri, Lamongan. Kejadian itu membuat masyarakat menilai miring pelayanan PMI.
Penempatan logo palang merah yang mengarah pada penyalahgunaan di Indonesia. Dewasa ini pelbagai pihak dengan leluasa menggunakan logo tersebut. Entah, individu maupun kelompok, mereka menggunakan logo palang merah atau bulan sabit merah sesuka hati. Penggunaan logo itu pun dengan pelbagai tujuan, kepentingan pribadi, kelompok, bahkan urusan bisnis.
Sebagai negara yang ikut meratifikasi konvensi Jenewa tahun 1949 melalui Undang-Undang no 59 tahun 1958. Oleh Karena itu, Undang-undang Kepalangmerahan adalah kewajiban dan keharusan negara, sebagai konsekuensi logis pihak konvensi Jeneva Tahun 1949. Sementara itu, Banyaknya penyalahgunaan lambang palang merah dan bulan sabit merah oleh berbagai pihak, tanpa ada upaya apapun untuk penertibannya, baik dari pemerintah maupun dari PMI. Maka, dirasa perlu untuk mendorong pengesahan RUU Kepalangmerahan oleh DPR RI.
Berbagai hal dan upaya telah dilakukan oleh sukarelawan PMI. Salah satunya pada penghujung tahun 2013, ribuan sukarelawan PMI dari pelbagai Kabupaten/Kota di Indonesia bertandang ke senayan untuk mengingatkan penghuni lembaga legislatif itu, “setidaknya” untuk melirik RUU Kepalangmerahan. Sukarelawan PMI menyerahkan kepercayaan, kepada mereka, “yang katanya” mewakili jutaan rakyat Indonesia. Sehingga memiliki tugas untuk mengesahkan RUU Kepalangmerahan, yang hingga kini, sudah 12 tahun tidak kunjung selesai.
Selain itu, para sukarelawan juga melakukan aksi lain seperti pengumpulan tanda-tangan dari masyarakat, akademisi, pemimpin daerah, serta pelbagai elemen masyarakat di Kabupaten/Kota seluruh Indonesia, guna mengingatkan anggota DPR perihal RUU Kepalangmerahan. Kampanye melalui media sosial, anjangsana (dikusi) ke tiap fraksi di DPR RI, dengar pendapat, dan kegiatan lainnya sudah dilakukan. Hal yang dilakukan oleh Para penggiat kemanusiaan bukan tanpa alasan.
Pasalnya, Penggunaan logo yang tidak sesuai membuat karakter "Netral" lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah, tidak dianggap lagi kenetralannya. Karena pengguna sah lambang Palang Merah (PMI dan Dinas Medis PMI) dianggap sama dengan para pengguna lainnya. Sekadar informasi, pengguna Lambang yang berhak menggunakan logo Palang Merah di Indonesia adalah PMI dan Dinas Medis Militer TNI.
Ketika logo netral sudah tidak dianggap lagi, itu adalah ancaman yang sangat nyata bagi para pekerja kemanusiaan. Masih teringat dengan jelas saat satu orang sukarelawan PMI gugur dan dua lainnya luka-luka karena menjadi sasaran tembak orang tidak dikenal, ketika sedang melaksankan tugasnya, menjemput pasien di perkampungan kecil di Punjak Jaya. Selain itu, saat terjadi kekisruhan demonstrasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak di Jakarta. Ketika itu, terdapat sebuah ambulans dengan lambang "Palang Merah" memasok batu dan kayu untuk para demonstran. Hal itu terjadi karena bahwa ada anggapan bila ambulans berlambang Palang Merah, akan dibiarkan lewat oleh aparat. Ketika itu PMI kembali menjadi sorotan masyarakat berkut media massa. Banyak pihak yang menuding netralitas PMI. Padahal, kendaraan tersebut bukan ambulans PMI maupun Dinas Medis Militer. Penggunaan lambang Palang Merah telah disalahgunakan.
Penyalahgunaan yang jelas, sangat merugikan PMI. Mengapa? Karena saat terjadi hal pelik, terkait penyalahgunaan lambang palang merah atau bulan sabit merah, maka PMI menjadi kambing hitam, bahkan sasaran tembak yang “empuk”, dari media massa maupun khalayak luas. Kini, saat Choirul Huda menghembuskan nafas terakhirnya, setelah tidak sadarkan diri dan mendapat pertolongan pertama dari tim medis yang menggunakan lambang palang merah. PMI kembali menjadi bulan-bulanan masyarakat.
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai badan yang berkewenangan mengesahkan RUU menjadi UU, sepatutnya “melek” dari “tidur” sadarnya. Jalan panjang dan terjal RUU Kepalangmerahan menjadi UU Kepalangmerahan belum menemukan titik terang. Jika membuka kembali buku catatan, DPR telah menerima secara resmi RUU Lambang Palang Merah / Kepalangmerahan pada 12 Oktober 2005 melalui surat Presiden Nomor R.79/Pres/10/2005.
Kemudian, pembahasan pada periode 2006 – 2009 macet atau deadlock. Hal itu terjadi lantaran ada permintaan salah satu Fraksi dewan terhormat, agar menyertakan LSM Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) ke dalam UU agar berstatus sejajar dengan PMI sebagai Perhimpunan Nasional. Jelas, permintaan tersebut pemerintah tidak dapat mengakomodir permintaan “aneh bin ajaib” tersebut. Mengapa? karena tertulis dengan jelas, Konvensi Jenewa hanya cantumkan “dinas medis + rohaniwan angkatan perang dan anggota gerakan” yang berhak menggunakan lambang Palang Merah/Bulan Sabit Merah. Selanjutnya, Statuta Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah hanya menizinkan pada satu negara hanya dapat menggunakan satu lambang dan satu Gerakan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah.
Indonesia menggunakan Palang Merah sebagai gerakan yang diakui secara internasional oleh Komite Palang Merah. Presiden Soekarno paska Proklamasi Kemerdekaan mengintruksikan Menteri Kesehatan pada saat itu untuk membentuk Organisasi Kepalangmerahan. Indonesia telah memilih tanda khusus palang merah untuk dinas medis TNI dan menunjuk Perhimpunan Palang Merah Indonesia sebagai perhimpunan nasional yaitu organisasi yang melakukan pekerjaan berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan secara resmi Palang Merah Indonesia didirikan pada tanggal 17 September 1945, satu bulan paska kemerdekaan Indonesia.
Keberadaan organisasi Palang Merah Indonesia juga memberikan kontribusi terhadap pengakuan Internasional oleh berbagai Negara sebagai Bangsa dan Negara paska Kemerdekaan. Palang Merah Indonesia merupakan satu-satunya perhimpunan palang merah nasional (National Society) yang memiliki legitimasi berdasarkan Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.
Sementara itu, DPR pada Periode 2010-2015 telah membentuk Panitia Khusus RUU Kepalangmerahan. Namun, pembahasannya mandek, RUU Kepalangmerahan jalan ditempat sehingga pada periode tersebut pengesahan RUU Kepalangmerahan bagaikan fatamorgana di tengah gurun pasir. RUU Kepalangmerahan menjadi “RUU Kepalangtanggung” untuk disahkan.
Kini, saat Periode DPR 2015-2020 berkuasa di senayan, tidak ada pembahasan khusus pada tahun pertamanya mereka menjadi dewan “yang harus ada sapaan terhormat dibelakang kata dewan”. Hal yang sama terulang di tahun 2016 pun RUU “Kepalangtanggung” eh, Kepalangmerahan tidak menjadi RUU Prioritas yang akan dibahas. Posisi RUU Kepalangmerahan di Prolegnas berada pada urutan 107. Tidak ada upaya serius DPR RI untuk mengesahkan RUU tersebut. Sementara itu ketiadaan dorongan dari Masyarakat mengenai RUU tersebut maka bisa jadi RUU Kepalangmerahan tidak akan terselesaikan kembali pada DPR RI periode ini.
Undang-Undang Kepalangmerahan dengan pelbagai fungsinya merupakan kebutuhan nasional baik pada situasi non-konflik ataupun pada situasi konflik. Undang-Undang Kepalangmerahan merupakan konsekuensi bagi Republik Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Undang-Undang Kepalangmerahan memberikan kepastian hukum bagi perhimpunan nasional baik pada tataran dalam negeri maupun dalam pergaulan internasional. Perlu disadari bahwa pengabaian hal ini dapat mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan lambang untuk tujuan-tujuan lain seperti untuk kepentingan politik, komersial dan berbagai kepentingan lain yang seharusnya dapat dicegah dengan adanya undang-undang.
Tidak ada kabar yang menggembirakan terkait perjalanan panjang RUU Kepalangmerahan sampai detik ini. Pengabaian ini tetap berlanjut, apakah kondisi ini akan dibiarkan saja? Akankah RUU Kepalangmerahan “lagi-lagi” tidak terselesaikan oleh DPR Periode ini? Akankah pelanggaran dan penyalahgunaan Lambang Palang Merah tetap dibiarkan? Akankah aturan-aturan internasional terus dilanggar? Akankah kepentingan Negara dikalahkan oleh kepentingan kelompok atau golongan atas jaminan perlindungan pengguna lambang palang merah?
Semoga jalan panjang ini menemukan titik akhir dengan pengesahan RUU Kepalangmerahan. Doa, harapan, upaya menjadi kenyataan. Perlindungan terhadap PMI termasuk para pekerja kemanusiaan menjadi nyata bukan hanya angan-angan di siang bolong. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi warganya, apalagi mereka yang secara ikhlas berjuang demi kemanusiaan.

#Satria Loka Widjaya, KORPS SUKARELAWAN (KSR) PMI Kota Jakarta Barat.

G+

Tidak ada komentar :

Posting Komentar