Kepergian penjaga gawang Persela Lamongan, Choirul
Huda (38), setelah berbenturan dengan Ramon Rodrigues dan Marcel Sacramento,
Minggu (15/10) sore, menyisakan sebuah pertanyaan besar. Bagaimana kejadian
yang merenggut nyawa pesepakbola itu bisa terjadi? Sementara Badan Sepak Bola
Dunia (FIFA) telah mengeluarkan standarisasi perangkat pertandingan, termasuk
tim Medis.
Warga net di Indonesia kemudian bereaksi atas
meninggalnya kapten tim Persela itu. Berdasarkan pantauan di media sosial,
tidak sedikit warga net yang memberikan kritik mengenai kinerja tim Medis saat
memberikan pertolongan pertama. Terkait hal tersebut, tidak sedikit pula warga
net yang mengkaitkan antara tim medis dengan Palang Merah Indonesia (PMI). Hal
itu cukup berasalan, karena tim medis yang bertugas saat itu mengenakan seragam
dengan logo Palang Merah pada bagian punggung, dada sebelah kiri, dan topi.
Akun media sosial PMI pun banjir pertanyaan dari
warga net, terkait standarisasi pelayanan pertolongan pertama dan medis yang
diberikan oleh PMI. Meskipun sudah memberikan klarifikasi berupa siaran pers,
dan surat secara resmi. Tetap saja, akibat penggunaan logo Palang Merah yang
kurang tepat oleh tim medis pada pertandingan tersebut, PMI ikut tersandung dalam
permasalahan ini.
Penggunaan logo Palang Merah yang “semaunya” sangat
berdampak pada organisasi PMI. Bagaimana tidak? fenomena yang terjadi akhir
pekan lalu itu, ikut menyeret PMI dalam pusaran kejadian tersebut. Meskipun tim
medis tersebut berasal dari RSUD dr. Soegiri, Lamongan. Kejadian itu membuat masyarakat
menilai miring pelayanan PMI.
Penempatan logo palang merah yang mengarah pada
penyalahgunaan di Indonesia. Dewasa ini pelbagai pihak dengan leluasa
menggunakan logo tersebut. Entah, individu maupun kelompok, mereka menggunakan
logo palang merah atau bulan sabit merah sesuka hati. Penggunaan logo itu pun dengan
pelbagai tujuan, kepentingan pribadi, kelompok, bahkan urusan bisnis.
Sebagai negara yang ikut meratifikasi konvensi Jenewa
tahun 1949 melalui Undang-Undang no 59 tahun 1958. Oleh Karena itu, Undang-undang
Kepalangmerahan adalah kewajiban dan keharusan negara, sebagai konsekuensi
logis pihak konvensi Jeneva Tahun 1949. Sementara itu, Banyaknya penyalahgunaan
lambang palang merah dan bulan sabit merah oleh berbagai pihak, tanpa ada upaya
apapun untuk penertibannya, baik dari pemerintah maupun dari PMI. Maka, dirasa
perlu untuk mendorong pengesahan RUU Kepalangmerahan oleh DPR RI.
Berbagai hal dan upaya telah dilakukan oleh
sukarelawan PMI. Salah satunya pada penghujung tahun 2013, ribuan sukarelawan
PMI dari pelbagai Kabupaten/Kota di Indonesia bertandang ke senayan untuk mengingatkan
penghuni lembaga legislatif itu, “setidaknya” untuk melirik RUU Kepalangmerahan.
Sukarelawan PMI menyerahkan kepercayaan, kepada mereka, “yang katanya” mewakili
jutaan rakyat Indonesia. Sehingga memiliki tugas untuk mengesahkan RUU Kepalangmerahan,
yang hingga kini, sudah 12 tahun tidak kunjung selesai.
Selain itu, para sukarelawan juga melakukan aksi
lain seperti pengumpulan tanda-tangan dari masyarakat, akademisi, pemimpin
daerah, serta pelbagai elemen masyarakat di Kabupaten/Kota seluruh Indonesia,
guna mengingatkan anggota DPR perihal RUU Kepalangmerahan. Kampanye melalui
media sosial, anjangsana (dikusi) ke tiap fraksi di DPR RI, dengar pendapat,
dan kegiatan lainnya sudah dilakukan. Hal yang dilakukan oleh Para penggiat
kemanusiaan bukan tanpa alasan.
Pasalnya, Penggunaan logo yang tidak sesuai membuat karakter
"Netral" lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah, tidak dianggap
lagi kenetralannya. Karena pengguna sah lambang Palang Merah (PMI dan Dinas
Medis PMI) dianggap sama dengan para pengguna lainnya. Sekadar informasi, pengguna
Lambang yang berhak menggunakan logo Palang Merah di Indonesia adalah PMI dan
Dinas Medis Militer TNI.
Ketika logo netral sudah tidak dianggap lagi, itu
adalah ancaman yang sangat nyata bagi para pekerja kemanusiaan. Masih teringat
dengan jelas saat satu orang sukarelawan PMI gugur dan dua lainnya luka-luka karena
menjadi sasaran tembak orang tidak dikenal, ketika sedang melaksankan tugasnya,
menjemput pasien di perkampungan kecil di Punjak Jaya. Selain itu, saat terjadi
kekisruhan demonstrasi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak di Jakarta. Ketika
itu, terdapat sebuah ambulans dengan lambang "Palang Merah" memasok
batu dan kayu untuk para demonstran. Hal itu terjadi karena bahwa ada anggapan
bila ambulans berlambang Palang Merah, akan dibiarkan lewat oleh aparat. Ketika
itu PMI kembali menjadi sorotan masyarakat berkut media massa. Banyak pihak
yang menuding netralitas PMI. Padahal, kendaraan tersebut bukan ambulans PMI
maupun Dinas Medis Militer. Penggunaan lambang Palang Merah telah
disalahgunakan.
Penyalahgunaan yang jelas, sangat merugikan PMI. Mengapa?
Karena saat terjadi hal pelik, terkait penyalahgunaan lambang palang merah atau
bulan sabit merah, maka PMI menjadi kambing hitam, bahkan sasaran tembak yang “empuk”,
dari media massa maupun khalayak luas. Kini, saat Choirul Huda menghembuskan
nafas terakhirnya, setelah tidak sadarkan diri dan mendapat pertolongan pertama
dari tim medis yang menggunakan lambang palang merah. PMI kembali menjadi
bulan-bulanan masyarakat.
Dewan Perwakilan Rakyat sebagai badan yang
berkewenangan mengesahkan RUU menjadi UU, sepatutnya “melek” dari “tidur”
sadarnya. Jalan panjang dan terjal RUU Kepalangmerahan menjadi UU
Kepalangmerahan belum menemukan titik terang. Jika membuka kembali buku catatan,
DPR telah menerima secara resmi RUU Lambang Palang Merah / Kepalangmerahan pada
12 Oktober 2005 melalui surat Presiden Nomor R.79/Pres/10/2005.
Kemudian, pembahasan pada periode 2006 – 2009 macet
atau deadlock. Hal itu terjadi
lantaran ada permintaan salah satu Fraksi dewan terhormat, agar menyertakan LSM
Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) ke dalam UU agar berstatus sejajar dengan
PMI sebagai Perhimpunan Nasional. Jelas, permintaan tersebut pemerintah tidak
dapat mengakomodir permintaan “aneh bin ajaib” tersebut. Mengapa? karena tertulis
dengan jelas, Konvensi Jenewa hanya cantumkan “dinas medis + rohaniwan angkatan
perang dan anggota gerakan” yang berhak menggunakan lambang Palang Merah/Bulan
Sabit Merah. Selanjutnya, Statuta Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah hanya menizinkan pada satu negara hanya dapat menggunakan satu lambang
dan satu Gerakan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah.
Indonesia menggunakan Palang Merah sebagai gerakan
yang diakui secara internasional oleh Komite Palang Merah. Presiden Soekarno
paska Proklamasi Kemerdekaan mengintruksikan Menteri Kesehatan pada saat itu
untuk membentuk Organisasi Kepalangmerahan. Indonesia telah memilih tanda
khusus palang merah untuk dinas medis TNI dan menunjuk Perhimpunan Palang Merah
Indonesia sebagai perhimpunan nasional yaitu organisasi yang melakukan
pekerjaan berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan secara resmi Palang Merah
Indonesia didirikan pada tanggal 17 September 1945, satu bulan paska
kemerdekaan Indonesia.
Keberadaan organisasi Palang Merah Indonesia juga
memberikan kontribusi terhadap pengakuan Internasional oleh berbagai Negara
sebagai Bangsa dan Negara paska Kemerdekaan. Palang Merah Indonesia merupakan
satu-satunya perhimpunan palang merah nasional (National Society) yang memiliki
legitimasi berdasarkan Statuta Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.
Sementara itu, DPR pada Periode 2010-2015 telah
membentuk Panitia Khusus RUU Kepalangmerahan. Namun, pembahasannya mandek, RUU
Kepalangmerahan jalan ditempat sehingga pada periode tersebut pengesahan RUU Kepalangmerahan
bagaikan fatamorgana di tengah gurun pasir. RUU Kepalangmerahan menjadi “RUU
Kepalangtanggung” untuk disahkan.
Kini, saat Periode DPR 2015-2020 berkuasa di senayan,
tidak ada pembahasan khusus pada tahun pertamanya mereka menjadi dewan “yang
harus ada sapaan terhormat dibelakang kata dewan”. Hal yang sama terulang di
tahun 2016 pun RUU “Kepalangtanggung” eh, Kepalangmerahan tidak menjadi RUU
Prioritas yang akan dibahas. Posisi RUU Kepalangmerahan di Prolegnas berada
pada urutan 107. Tidak ada upaya serius DPR RI untuk mengesahkan RUU tersebut. Sementara
itu ketiadaan dorongan dari Masyarakat mengenai RUU tersebut maka bisa jadi RUU
Kepalangmerahan tidak akan terselesaikan kembali pada DPR RI periode ini.
Undang-Undang Kepalangmerahan dengan pelbagai fungsinya
merupakan kebutuhan nasional baik pada situasi non-konflik ataupun pada situasi
konflik. Undang-Undang Kepalangmerahan merupakan konsekuensi bagi Republik
Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949. Selain itu, Undang-Undang
Kepalangmerahan memberikan kepastian hukum bagi perhimpunan nasional baik pada
tataran dalam negeri maupun dalam pergaulan internasional. Perlu disadari bahwa
pengabaian hal ini dapat mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan lambang untuk
tujuan-tujuan lain seperti untuk kepentingan politik, komersial dan berbagai
kepentingan lain yang seharusnya dapat dicegah dengan adanya undang-undang.
Tidak ada kabar yang menggembirakan terkait perjalanan
panjang RUU Kepalangmerahan sampai detik ini. Pengabaian ini tetap berlanjut, apakah
kondisi ini akan dibiarkan saja? Akankah RUU Kepalangmerahan “lagi-lagi” tidak
terselesaikan oleh DPR Periode ini? Akankah pelanggaran dan penyalahgunaan
Lambang Palang Merah tetap dibiarkan? Akankah aturan-aturan internasional terus
dilanggar? Akankah kepentingan Negara dikalahkan oleh kepentingan kelompok atau
golongan atas jaminan perlindungan pengguna lambang palang merah?
Semoga jalan panjang ini menemukan titik akhir
dengan pengesahan RUU Kepalangmerahan. Doa, harapan, upaya menjadi kenyataan.
Perlindungan terhadap PMI termasuk para pekerja kemanusiaan menjadi nyata bukan
hanya angan-angan di siang bolong. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi
warganya, apalagi mereka yang secara ikhlas berjuang demi kemanusiaan.
#Satria Loka Widjaya, KORPS SUKARELAWAN (KSR) PMI Kota
Jakarta Barat.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar