Sebuah kenekatan, ketika saya memutuskan untuk menyambangi kota pelajar. awalnya saya mengajak beberapa teman kampus yang tergila-gila untuk backpack keliling pulau jawa.
Alasan klise yang mereka lontarkan (ga punya duit, kuliah, ada kesibukan lain, bla... bla... bla...), membuat saya terpingkal. akhirnya saya pastikan mereka tidak ambil bagian dalam perjalanan saya kali ini di Ngayogyakarta Adingningrat (Ngebolang ndirian deh).
berbekal lepi (bahasa keren laptop) dan wifi gratisan di PMI DKI Jakarta, saya mencari info tiket murah menuju Yogya. saya melihat promo kereta api AC- Ekonomi, setelah mendapat info di situs www.kereta-api.co.id. saya meposting tiket murah itu dalam akun jejaring sosial saya, berharap ada yang mau ikut ke Yogya (ternyata tetap ga ada yang berminat, hehehe).
Saya tak menyadari, esok adalah hari keberangkatan saya ke Yogya. Kebodohan yang terulang, saya belum memegang tiket kereta, tanpa piker panjang saya menelpon contact centre PT KAI. Suara operatornya merdu seolah bersahabat dengan saya, uups. Operator memberi tahu bahwa tiket yang saya inginkan hanya bisa dibeli melalui reservasi langsung di Stasiun, Saya langsung tanjap gas menuju Stasiun Pasar Senen.
Sampai Stasiun, saya dihadapi tumpukan manusia yang hendak memesan tiket menggunakan jasa Kereta Api (gila, apalagi kalo mudik yah, hehehe). Tanpa banyak Tanya saya langsung mengantri di belakang kerumumunan manusia itu.
“Tumben ga ada calo” saya bergumam dalam hati, tiga puluh ment menunggu ternyata saya sudah berada di depan loket
tiket. “ke Yogya dengan Gajah Wong Mba”, pesan saya. Bukannya tiket yang saya dapatkan malah, teguran. “maaf, mas tiket ekonomi ada d sebelah sana” sambil menunjuk ke arah ujung kanan. Penantian setengah jam bermuara kekecewaan karena saya salah antrian.
Saya mengantri di antrian yang benar kali ini, menunggu dengan sabar hingga berada di depan loket.
kesialan hari ini tak berhenti di loket, setelah saya memesan tiket AC -Ekonomi Gajah Wong yang saya pikir 50 ribu, ternyata harga melambung menjadi 130 Ribu, saya kaget dan sempat berargumen dengan petugas loket, namun apa boleh buat, tiket sudah dicetak. Dengan terpaksa saya membayarnya.
keesokan harinya Lina, teman seperjalanan saya sudah tiba di Stasiun Pasar Senen pukul 06.00 pagi, saya pun bergegas mandi ala koboy, agar ia tak lama menunggu. untung saja malam itu saya menginap di Senen. samapai di stasiun, kami menunggu rangkaian kereta "Gajah Wong" tepat dua jam menunggu kami baru mendapat izin untuk masuk ke dalam gerbong.
setelah mencari, akhirnya kami mendapat nomor bangku yang sesuai dengan nomor yang tertera pada tiket. kurangnya jam tidur tadi malam, membuat saya langsung terlelap dalam simponi mesin diesel kereta gajah wong.
Tiba-tiba saya terjaga dari tidur pendek saya, ternyata memang benar rangkaian kereta baru tiba di Stasiun Jatinegara. tak lama seorang pria paruh baya menghampiri kami dan meminta kami untuk pergi, karena ia mengira kami menempati bangkunya. memang benar, ternyata kami salah memasuki gerbong.
kami bergegas menuju gerbong yang sudah tertulis dalam tiket. sampai pada tempat duduk yang tertera dalam tiket, kami menduduki bangku tersebut dan memastikan kali ini kami tidak salah lagi. kami berjumpa dengan wanita paruh baya yang akan menjadi teman perjalanan kami selama di kereta menuju Yogyakarta.
banyak pengalaman hidup yang ia ceritakan kepada saya, hal tersebut membuka mata saya. baginya harta bukanlah segalanya, ia rela membanting tulang agar ketiga anaknya dapat mengenyam bangku perguruan tinggi. Terekam dalam hati dan otak saya beberapa kalimat yang keluar dari mulutnya. "lebih baik saya meninggalkan pendidikan untuk anak saya daripada harta".
Tiga jam berlalu, kereta kami sudah berada di Kabupaten Cirebon. Kokohnya Papandayan menyamar dibalik gumpalan awan putih, seolah memperhatkan dengan seksama rutinitas petani di hamparan sawah yang mulai menguning.
Tak hentinya saya mengamati keindahan panorama dari balik kaca, merekam setiap jengkal keindahan panorama negeri ini. Kereta sudah tiba di Stasiun Cirebon, pedagang asongan mulai menyeruak masuk dan menawarkan barang dagangannya. Kesunyian kereta pun berubah menjadi pasar darurat, aktifitas jual beli dalam kereta ini pun menjadi pemandangan unik yang terekam dalam ingatan saya.
Sampai di Kabupaten Tegal, detak kagum saya semakin menjadi-jadi. Panorama bertambah indah, dengan puluhan anak yang sedang menggembalakan hewan ternaknya di sabana luas. Langit biru dengan awan cumolonombus tipis, menyertai perjalanan saya dari luar kereta.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar