Gumpalan awan hitam tetap menyelimuti ibu kota pagi ini, suara klakson kendaraan pun tak hentinya saling bersautan untuk mendapatan akses jalan yang paling cepat. Suasana awal pekan selalu terjadi di tengah kota jakarta.
Seperti biasa aku pun bergegas menuju kantor yang terletak di Mampang Prapatan, setelah menunggu petugas piket posko bencana pagi ini hadir. Aku segera menancapkan kuda besi yang selalu setia menemani ku, kemana hati ini hendak melangkah.
Darah muda yang mengalir di jiwa ini selalu membakar asa dan menggerakan raga ini untuk mengendarainya secepat mungkin, tanpa ku sadari kecepatan kuda besi tua ku mencapai titik maksimum, namun degan rasa bangga dan angan ingin cepat sampai kantor tetap ku pacu kuda besi ku, tanpa menghiraukan pengendara lainya.
Sampai di Manggarai macet pun tak terhindarkan, hampir semua pengendara saling berebut kedepan untuk mencapai tempat terdepan di pertigaan lampu merah. Begitu pula dengan aku mencoba mencari celah untuk sampai terdepan pula.
Ketika, sudah tak ada celah lagi untuk mencapai tempat terdepan, tanpa sengaja mata ini menoleh ke arah kiri, terlihat seorang lelaki paruh baya yang merupakan seorang pemulung, sedang menahan rasa sakit.
Ku perhatikan dengan seksama, apa gerangan yang membuatnya seperti itu. Ternyata, benjolan yang terdapat pada leher depannya adalah penyebabnya. Dengan nafas yang dalam dan cepat, ia terus menahan rasa sakit akibat benjolan sebesar genggaman tangan orang dewasa itu.
Dengan memegang karung hasil memulung pagi ini ia terus menahan rasa sakitnya, nafasnya pun semkain dalam dan cepat, terlihat butiran air mata pun terjatuh melewati pipinya yang sudah mengkerut, dibalik topi rimba hitam yang mencoba menutupi wajahnya. pohon beringin yang kokoh pun membantunya bersandar untuk mengurangi rasa sakit yang menyerang bapak itu.
Ku pikir tak seorang pun yang meliahat rasa sakit yang bapak itu rasakan, ingin rasanya turun dan menghampiri bapak itu, namun apalah daya lampu lalu lintas sudah menunjukan warna hijau dan pengendara lain sudah mnancapkan gas dan membunyikan klakson kendaraanya untuk melanjutkan perjalanan.
Selama perjalanan ku mencapai mampang, terlintas beberapa pertanyaan di hati dan fikiran ini, mengapa dunia ini tidak adil, mengapa harus bapak itu yang merasakan sakit yang begitu menyegat. bukan para koruptor2 yang menggerogoti uang rakyat, bukan orang2 yang menjadi benalu dan sampah di negeri ini.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar