Sabtu, 07 Desember 2013

Makna Hari Raya Dalam Kesederhanaan

Lets Get Lost, jargon tersebut menjadi salah satu alasan saya terus bertualang, menjejaki setiap jengkal tanah air tercinta. Sebagai seorang petualang, saya berharap mendapatkan pelajaran dan hal baru dari setiap petualangan. Sebuah perkampungan Cina Benteng di wilayah tersebut, menjadi target saya pada petualangan awal tahun 2013. Memahami makna kesederhanaan warga Cina Benteng yang terpinggirkan dari hiruk pikuk gemerlap Ibukota Jakarta.

Hal tersebut tidak mudah kita dapatkan, tanpa menyelami dan merasakan makna sebuah perjalanan melalui konsep geowisata. Konsep tersebut saya dapatkan saat diskusi antara dewan redaksi National Geographic Indonesia (NGI) dan Anggota Forum NGI regional Jakarta, awal tahun 2013 di Central Park.



Mendapatkan sebuah pelajaran baru dari diskusi tersebut, saya bergegas menyusun rencana petualangan tahun ini, tentunya menggunakan konsep geowisata. Petualangan pertama saya menyusuri daerah teluk naga, Kabupaten Tangerang, menggunakan sepeda kumbang. 

Sebuah perkampungan Cina Benteng di wilayah tersebut, menjadi target saya pada petualangan awal tahun ini, memahami makna kesederhanaan warga Cina Benteng yang terpinggirkan dari hiruk pikuk gemerlap Ibukota Jakarta. 

Berbekal informasi dari internet dan ayah, saya menggenjot sepeda tua pemberiannya menuju Rawa Kucing, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, melewati Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Raungan suara mesin dan klakson seolah mengejek, agar saya membatalkan petualangan menggunakan alat transportasi berbekal otot ini. 

Terkadang, terdengar suara lantang klakson menusuk telinga, meminta saya menepi dan memberikan jalan pada penggunanya. Hal tersebut membuat adrenalin saya terpacu agar sampai di Rawa Kucing dengan segera.

Dewi Fortuna sedang berpihak kepada saya, lepas dari terminal I menuju keluar kompleks bandara, saya disuguhkan antrian kendaraan yang berbaris dengan rapih. Kecepatan kayuhan kaki saya, dapat mengalahkan kendaraan bermotor dengan ribuan tenaga kuda.

Saya melanjutkan perjalanan menuju Rawa Kucing tanpa harus mengantri. Angin kering khas pesisir berbisik dan menemani setiap kayuhan, menjadi penyemangat saya.

Keberuntungan terus melekat pada saya, informasi ayah mengenai persiapan menyambut tahun baru Imlek warga Cina Benteng tidak meleset. Puluhan Warga dan Pendeta Wihara Rawa Kucing di Jalan Taman Makam Rawa Kucing, RT 005 RW 05, Mekar Sari, Neglasari, Kota Tangerang, sedang melaksanakan kerja bakti, membersihkan perlengkapan sembahyang. Mereka bahu-membahu, bekerjasama antar generasi menyambut perayaan pergantian tahun.

Merasa tidak mendapatkan pelajaran bermakna, saya kembali mengayuh sepeda mengitari sekitar Wihara tersebut. Saya memerhatikan sekeliling, tidak nampak hiasan-hiasan menyambut imlek yang begitu menyolok mata. 

Tetiba saya menghampiri pria paruh baya yang sedang duduk di atas kursi goyang, menikmati cuaca terik dari balik pagar rumah kebaya khas cina benteng. Saya bertanya bak, seorang polisi sedang mengintrogasi terdakwa, mencari segala informasi mengenai budaya warga cina benteng.

Lom Kim Min (64), tinggal bersama istri dan tiga orang anak, Alim (30), Richard (25) dan Surya (17). Ia menceritakan perayaan imlek di Ciben (Cina Benteng) tidak semeriah di tempat lain. Perayaan di Rawa Kucing tanpa lampion, replika pohon bunga meihua, dan pernak-pernik khas imlek. 

Begitu pula dengan sajian di kediaman Lom Kim Min, keluarganya hanya menyediakan makanan seadanya, tanpa kue keranjang, buah naga, anggur, apel dan buah lainnya. Keterbatasan ekonomi memaksa keluarga ini merayakan hari raya dengan kesederhanaan. Ia menjelaskan, perayaan tahun baru imlek bukan sekadar baju baru, lampion, makanan mewah. 

Baginya imlek merupakan titik balik bagaimana manusia bersyukur kepada Tuhan dalam segala hal, baik, buruk, kaya, miskin, sehat, sakit dan sebagainya. Ia juga menuturkan Perayaan secara berlebihan akan menjurus pada perbuatan boros dan mengamburkan uang. Hal tersebut bisa menghilangkan makna imlek sendiri.

Membersihkan wihara merupakan metode mendapatkan makna imlek. ”Saat semua bersih maka hati akan bersih. Prasangka buruk, iri, dengki, sifat buruk dan tindakan kejahatan akan hilang saat kita memiliki hari yang bersih” Jelas Lom Kim Min.

Ia meminta anak bungsunya, Surya, mengantarkan saya berkeliling menggunakan sepeda. Kami bergegas menuju Jalan Raya Rawa Kucing, rata-rata warga di sekitar sini memang merayakan imlek dalam kesederhanaan bahkan ada warga yang sama sekali tidak merayakan imlek. Masih ada warga Ciben memilih bekerja tanpa memedulikan hari besarnya.

Puas berkeliling, akhirnya memutuskan pulang.                                                                          

Saya mengambil jalan berbeda, menyusuri Kali Cisadane menuju pusat Kota Tangerang. Saat berada dekat Pasar Lama, hati saya berdecak kagum akan kemolekan kali cisadane yang membelah kota Tangerang. Terlebih ada warga Ciben yang menawarkan jasa perahu naga menyusuri Kali Cisadane. 

Selain itu, Puluhan Barongsai siap beratraksi menyambut pergantian tahun baru disertai ledakan petasan yang memecah langit tangerang.

Warga Ciben tidak mematok harga untuk menyusuri kali Cisadane, saat itu saya memberikan uang lima ripu rupiah. Saya bertanya kepada 20 orang pendayung perahu tersebut mengenai alasan tidak mematok harga. 

Bagi mereka dapat berbagi pengalaman bersama warga menyusuri Cisadane merupakan kepuasan tersendiri.
Selain itu, mereka merupakan kelompok warga yang sedang berlatih dayung untuk mengikuti lomba perahu naga saat festival kali cisadane. Sebuah acara tahunan pemkot Tangerang untuk memajukan potensi kota penyangga ibukota melalui wisata budaya. 

Selesai mendapatkan pengalaman hari ini, saya kembali menuju Jakarta menggunakan sepeda kesayangan. Hati saya masih gundah, akan perbedaan yang begitu menyolok antara pusat kota dan wilayah Rawa Kucing yang letaknya berdekatan.

Saya teringat perkataan Lom Kim Min tentang makna hari besar dalam kesederhanaan, baginya menghamburkan uang dapat mengurangi makna sebuah hari besar yang sakral. Budaya dan tradisi yang ada bukan sebuah perayaan semata, namun terkandung sesuatu yang besar bagi kita yang ingin mendapatkan makna tersebut.

Kearifan lokal, budaya, tradisi, alam, geologi, demografi jika kita satukan dan hayati dalam makna yang luas akan mengajarkan kita agar lebih menghargai dan berfikir lebih arip dan bijaksana dalam melakukan sesuatu. Selamat berpetualang, mari kita nikmati perjalanan kita melalui konsep geowisata. 

Seorang petualang akan berhasil dalam pertualangannya saat ia menemukan makna dan manfaat dari sebuah perjalanan. Tidak perlu ke tempat jauh untuk berwisata, kita bisa mendapatkannya dari tempat yang paling dekat. Bukan jarak yang membuat kita bangga namun pengalaman yang kita dapatkan dari perjalanan kita. Let’s Get Lost #Satria Loka Widjaya @locha_orange

G+